Minggu, 30 Januari 2011

Habibi Ainun



..melihat hasil pemungutan suara tersebut, di wajah mereka terlihat perasaan kecewa. Namun keheningan suasana tersebut tidak berlangsung lama, karena istri saya, Ainun bertanya. ”Selanjutnya, bagaimana sikap Bapak?” Saya dengan spontan menjawab ”Saya tidak bersedia untuk dicalonkan atau menerima pencalonan kembali sebagai Presiden”
Sebagaimana biasa, Ainun tanpa memberi reaksi. Apa yang saya katakan, ia terima dengan tulus. Pasrah pada keputusan yang saya ambil dan menganggap bahwa itulah yang terbaik bagi kami sekeluarga, membuat Ainun selalu menerima keputusan dengan tulus..

Itu salah satu penggalan tulisan Pak Habibie tentang Ibu Ainun.
Sebuah buku yang mengisahkan tentang kisah romantis sepanjang masa dari salah seorang putra terbaik yang dimiliki bangsa ini.
Buku ini mulai ditulis oleh Pak Habibie selepas kepergian Ibu Ainun tanggal 22 Mei 2010 kemarin. Diakuinya, ini salah satu terapi untuk mengatasi rasa kehilangan beliau.
Secara keseluruhan, buku ini menceritakan perjalanan hidup seorang Habibie sejak beliau mengenal Ibu Ainun. Tentang pertemuan mereka, bagaimana menjalani rumah tangga di perantauan, tentang pekerjaan dan amanah, hingga kepedihan ketika akhirnya Ibu Ainun mendahului untuk menghadap-Nya.

Di sela2 tulisan pak Habibie, kadang terselip juga tulisan Ibu Ainun tentang Habibie dalam buku ”Setengah Abad Prof. Dr. –Ing BJ. Habibie, Kesan dan Kenangan” karya A. Makmur Makka (1986). Sehingga tidak hanya opini pak Habibie tentang Ibu Ainun saja yang disajikan, namun ada pula curhat2 Ibu Ainun ketika mendampingi beliau.

Bapak Habibie ternyata tidak bisa melepaskan latar belakang beliau sebagai seorang Engineer ketika menuliskan buku ini. Di beberapa bagian, beliau menuliskan cerita tentang pekerjaan beliau selama menjadi ahli konstruksi gerbong kereta api selama di Jerman. Begitu pula ketika mendapat tawaran mendesain pesawat terbang. Proses penerapan teori ke dalam kerangka fisik yang akan di desain. Beliau menuliskan dengan sangat detail, hingga sampai ke penjelasan matematisnya. Sy sampai berpikir bahwa mungkin buku ini juga bisa dijadikan buku panduan bagi teman2 yg kuliah di jurusan Teknik Sipil atau Mesin, hehe…

Di bagian lain beliau juga menuliskan ketika di Jerman beliau dihadapkan dengan berbagai tawaran pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya dan berbenturan dengan idealismenya untuk kembali pulang dan membangun negeri Indonesia tercinta.
Pun ketika beliau akhirnya menjabat sebagai Menteri Ahli Riset dan Teknologi di Kabinet Pembangunan VII. Bagaimana beliau mencurahkan seluruh ilmu dan pengetahuan dalam mempersiapkan kader bangsa yang akan melanjutkan pembangunan di bidang teknologi.
Atau cerita menarik tentang terbentuknya ICMI dan program-program lain yang menyusulinya, yang ternyata bertujuan sangat mulia –menyelaraskan Iptek dan Imtaq.
Banyak hal-hal baru yang kita temui dalam setiap cerita ini, ditambah dengan gaya penulisan beliau yang menceritakan sampai ke hal-hal kecil. Memikat…

Dari cerita-cerita itu dan ada beberapa cerita yang lain, sekilas tampak tidak ada hubungannya dengan judul buku. Sepertinya ini tidak melulu cerita tentang ia dan Ainun. Di awal sy sempat berpikir seperti itu. Tapi ternyata ketika dicermati, ia justru hampir selalu menyebut Ainun di setiap bagiannya. ”Senyumnya selalu meneduhkan dan mengilhami saya, dan selalu kurindukan sepanjang masa”. Kata-kata ini berulang kali dituliskan pak Habibie di beberapa lembaran buku ini. Terlihat betapa Habibie sangat mengagumi Ainun.

Inspiring..
Satu cerita yang dapat menjadi pelajaran dari seorang Ainun adalah bagaimana Ibu Ainun rela melepaskan profesionalismenya sebagai seorang Dokter, memutuskan untuk tidak bekerja dan fokus mengurus suami dan kedua anaknya. Digambarkan pula di buku ini, betapa Ibu Ainun sangat berpeluang untuk terus melanjutkan pendidikan dan karirnya, namun memilih untuk tetap mempersilakan suaminya berada di depan.
Akan tetapi, walaupun tidak bekerja secara profesional, Ibu Ainun tetap berusaha untuk mensejajarkan dirinya dengan sang suami secara intelektualitas. Beliau sadar, suaminya dengan ilmu dan kecekatan yg dimilikinya, akan terus melesat. Jika ia tidak berusaha menyamakan langkah, ia akan tertinggal. Dan itulah yg dilakukan oleh Ibu Ainun.

Di belakang Lelaki Hebat ada seorang Perempuan Hebat
Habibie selalu mengatakan ini dalam setiap pidato dan presentasinya, khususnya ketika beliau menjabat sebagai ketua ICMI. Ia sangat mengakui, kemampuannya menjalani pekerjaan dan amanah lain yang diembannya tidak dapat dipisahkan dari peranan sang istri.
Makanya, semasa hidupnya, baik ketika sudah menjadi pejabat tinggi negara ataupun sebelumnya, kapanpun dan dalam kesempatan apapun, Ibu Ainun tampak selalu hadir mendampingi Habibie. Ia selalu ada diantara penonton dan hadirin yang mengikiti pidato dan presentasinya. *sepertinya pak habibie tidak pede kalo ibu ainun tidak ikut* :-D
Ini juga menjadi sebuah motivasi buat kita para perempuan, untuk selalu menjadi wanita yang baik akhlaknya.

Dan akhirnya…
Habibie-Ainun hanyalah sepasang manusia biasa yg dibatasi oleh takdir usia. Dan ketika Habibie bersedih ketika ditinggal oleh Ibu Ainun, bukankah hal itu amat sangat wajar untuk dimaklumi?
Mungkin buku ini ditulis sekedar mengobati kerinduan seorang suami yg ditinggal belahan jiwanya. Tapi diluar itu, buku ini juga menyelipkan sebuah pesan tentang kesetiaan, ketulusan, dan indahnya sebuah perasaan cinta yang berada dalam naungan Ridha-Nya.

Pelajaran dan hikmah bisa kita dapatkan dari mana saja, mungkin termasuk dari buku ini. Selamat membaca ^_^

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Site Info

Best seller Copyright © 2009 Community is Designed by Bie Converted To Community Galleria by Cool Tricks N Tips